Saya mahasiswi, 21 tahun, kuliah
dan menjadi seorang asisten disebuah tempat bimbel milik seorang penganut Budhist
yang taat, mempunyai beberapa kegiatan rutin dari LSM.
Beberapa kegiatan diatas sering
kali membuat saya merasa dikejar-kejar waktu, pulang kuliah pukul 12 siang,
makan siang dengan cepat, mengunyah makanan dengan cepat, menelan makanan dan
menyerahkan makanan yang saya telan dibereskan oleh lambung. Sholat dzuhur
tergesa-gesa, berjalan tergesa-gesa sambil terus memeriksa jam sembari berdoa
semoga jalanan tidak macet dan saya tidak datang terlambat ke tempat mengajar.
Pulang malam (itu artinya saya jarang sekali punya waktu bertemu matahari sore,
tau tau sudah malam) disepanjang perjalanan saya mengamati orang-orang yang
saya temui dijalanan, mereka juga pulang
kerja, wajah mereka lelah sama seperti saya, saya senang karna saya tidak
sendirian, saya bukan satu-satunya orang di dunia ini yang merasa letih. Saya
menyimbolkan hidup saya perjuangan, berjuang itu cape, kalau tidak cape berarti
tidak berjuang apa-apa untuk hidupnya. Tiba di kosan saya istirahat, keesokanya
aktiftas yang sama terulang kembali. Saya seperti mesin yang tidak bisa
dihentikan bekerja, saya begitu kecanduang mengerjakan sesuatu, timbul rasa
resah jika saya hanya duduk berdiam diri tidak mengerjakan apa-apa. Tubuh saya
seperti meminta-minta agar saya bergerak melakukan sesuatu.
Sampai suatu saat saya rindu
dengan diri saya yang bisa bernafas lebih santai, melangkah lebih teratur tidak
seperti babi buta, menyapa orang yang saya kenal saat bertemu di jalan atau
dikampus. Menikmati rasa makanan pada setiap suapan yang masuk ke mulut,
mempunyai waktu yang cukup untuk membaca buku disore hari di teras kosan saya,
menghubungi ibu saya dan bercerita lebih banyak kepada ibu saya.
Kalau saya sudah tidak sanggup
dengan pola hidup saya, ingin rasanya saya pulang menemui ibu saya,
beristirahat di desa. Rasanya impian sederhana itu mahal sekali.
“Sibuk itu bukan berarti
produktif, sibuk hanya untuk mereka yang malas menetapkan pilihan” tulis Adjie
Silarus dalam sebuah bukunya. Saya mengobservasi diri saya sendiri, dan
sepenuhnya saya meng-amini pikiran Adjie
Silarus, Adjie Silarus adalah seorang pelatih meditasi dan juga penulis buku
diantaranya “Sejenak Hening” dan “Sadar Penuh Hadir Utuh”
Saya sudah menamatkan buku Adjie
silarus yang kedua “Sadar Penuh hadir Utuh” saya membacanya beberapa kali
sampai saya merasa lebih lega, sampai saya dapat memaafkan dan sanggup berdamai
dengan diri saya sendiri.
Saya melatih diri saya agar hidup
saya pas dan seimbang, tidak selalu sibuk. Pas dan seimbang berdasrkan
pandangan saya adalah menyelesaikan semua yang harus dikerjakan tapi juga
memberi tubuh saya jeda untuk beristirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar