Jumat

Tapak Siri Kemumu, Bengkulu



anggrek daun








hutan yang ditebang digunakan untuk perkebunan kopi


Dont cut the tree


Sabtu

Dikejar-kejar waktu

Saya mahasiswi, 21 tahun, kuliah dan menjadi seorang asisten disebuah tempat bimbel milik seorang penganut Budhist yang taat, mempunyai beberapa kegiatan rutin dari LSM.
Beberapa kegiatan diatas sering kali membuat saya merasa dikejar-kejar waktu, pulang kuliah pukul 12 siang, makan siang dengan cepat, mengunyah makanan dengan cepat, menelan makanan dan menyerahkan makanan yang saya telan dibereskan oleh lambung. Sholat dzuhur tergesa-gesa, berjalan tergesa-gesa sambil terus memeriksa jam sembari berdoa semoga jalanan tidak macet dan saya tidak datang terlambat ke tempat mengajar. Pulang malam (itu artinya saya jarang sekali punya waktu bertemu matahari sore, tau tau sudah malam) disepanjang perjalanan saya mengamati orang-orang yang saya temui dijalanan, mereka  juga pulang kerja, wajah mereka lelah sama seperti saya, saya senang karna saya tidak sendirian, saya bukan satu-satunya orang di dunia ini yang merasa letih. Saya menyimbolkan hidup saya perjuangan, berjuang itu cape, kalau tidak cape berarti tidak berjuang apa-apa untuk hidupnya. Tiba di kosan saya istirahat, keesokanya aktiftas yang sama terulang kembali. Saya seperti mesin yang tidak bisa dihentikan bekerja, saya begitu kecanduang mengerjakan sesuatu, timbul rasa resah jika saya hanya duduk berdiam diri tidak mengerjakan apa-apa. Tubuh saya seperti meminta-minta agar saya bergerak melakukan sesuatu.

Sampai suatu saat saya rindu dengan diri saya yang bisa bernafas lebih santai, melangkah lebih teratur tidak seperti babi buta, menyapa orang yang saya kenal saat bertemu di jalan atau dikampus. Menikmati rasa makanan pada setiap suapan yang masuk ke mulut, mempunyai waktu yang cukup untuk membaca buku disore hari di teras kosan saya, menghubungi ibu saya dan bercerita lebih banyak kepada ibu saya.

Kalau saya sudah tidak sanggup dengan pola hidup saya, ingin rasanya saya pulang menemui ibu saya, beristirahat di desa. Rasanya impian sederhana itu mahal sekali.


“Sibuk itu bukan berarti produktif, sibuk hanya untuk mereka yang malas menetapkan pilihan” tulis Adjie Silarus dalam sebuah bukunya. Saya mengobservasi diri saya sendiri, dan sepenuhnya  saya meng-amini pikiran Adjie Silarus, Adjie Silarus adalah seorang pelatih meditasi dan juga penulis buku diantaranya “Sejenak Hening” dan “Sadar Penuh Hadir Utuh”
Saya sudah menamatkan buku Adjie silarus yang kedua “Sadar Penuh hadir Utuh” saya membacanya beberapa kali sampai saya merasa lebih lega, sampai saya dapat memaafkan dan sanggup berdamai dengan diri saya sendiri.

Saya melatih diri saya agar hidup saya pas dan seimbang, tidak selalu sibuk. Pas dan seimbang berdasrkan pandangan saya adalah menyelesaikan semua yang harus dikerjakan tapi juga memberi tubuh saya jeda untuk beristirahat.

Senin

Trip for Birthday Girl


















Menjadi  21 tahun di tahun 2015.
Banyak potongan arti kehidupan yang berserak.
kadang ditemukaan saat menikmati perjalaan jauh.
Kadang hadir saat mulai berteman dengan orang baru.
Kadang hadir setelah tiga sahabat saling menyadarkan diri.
Kadang hadir saat kita berada dipersimpangan. Memutuskan jalan mana yang terbaik.
Kadang  juga hadir setelah ada kekecewaan akan harapan yang tak sesuai kenyataan.
Tak jarang arti kehidupan juga hadir saat harus ikhlas melepas yang tidak sesuai hati nurani.
Potongan potongan arti kehidupan semoga selalu menjadi pengingat, agar setiap hari selalu berbenah diri.

21 tahun
Semoga punya lebih banyak waktu untuk melakukan perjalanan.
Menyaksikan kesibukan orang lain dari balik kaca kendaraan umum.

21 tahun
sepertinya sudah cocok di sebut ‘gadis rimba’
Banyak rencana perjalanan yang sudah aku persiapkan untuk mengisi  21 tahun ini.

Sabtu

Hidup Mewah di Telaga Warna

Preparing the equipment



Saninten



Macaca fascicularis




Dua hari kita berlayar di atas rakit, sebagian teman ada yang sibuk mengambil sample air telaga untuk analisis Ph air yang ditepi danau dengan yang di tengah danau lalu dibandingkan, ada yang sibuk mengamati mikro alga menggunakan mikroskop cahaya, ada yang bertugas mendayung, dan ada yang sibuk masak, nah masak itu bagianya aku. Hari pertama kita masak mi dua bungkus dicampur bumbu rendang oleh-oleh dari teman yang baru pulang dari padang, kita makan rame-rame bergilir sendoknya sambil denger lagu band-band indie : payung teduh, dialog dini hari dan nostress. "mewah banget hidup kita" kata teman.

Tapi sebetulnya dibalik foto-foto ceria kita, beberapa hari sebelum acara, aku beserta enam orang temanku tersesat dihutan telaga warna karena trek yang harusnya dilalui tertutup bekas longsor, kita bikin trek baru. Berjam-jam ga nemuin jalan keluar sampai menjelang magrib. Alat penerangan cuma ada dua headlamp.  Jalan terahir kita adalah jurang. Satu persatu kita dievakuasi menggunkan tali rafia. Tiba giliranya aku yang dievakuai duluan. Aku kaget melihat kebawah jurang, aku menarik nafas, pelan-pelan aku merayap turun jurang dengan posisi tengkurap. Kaki ku ga ada pijakan. Aku cuma megang kayu. Ternyata kayu yang aku pegang lapuk, badanku jatuh menggelinding menabrak bebatuan dan ranting-ranting. Untung di bawah ada teman yang menahan badanku sambil menenangkan aku yang gemeteran nangis. Ada bekas luka dibawah dagu akibat terbentur batu. Terluka tidak akan menghentikan petualangan.

Kamis

Sesak di Gunung Batu

Kenalkan, ini adalah GCC (green circle community) sebuah komunitas yang dirintis oleh beberapa teman lama di SMP, beberapa diantaranya adalah Kenedhy, Gerdha, Avil dan Ardi, aku sendiri baru bergabung ke GCC  sekitar satu tahun yang lalu dan sudah pergi ke gunung gede, gunung munara dan gunung batu ini adalah gunung ke tiga yang aku daki, sesampai disana ternyata gunung batu ini pamornya sedang naik-naiknya, saat adzan magrib terdengar kami baru saja tiba di tempat simaksi, HTM nya masih murah, lima ribu rupiah saja. Setelah adzan magrib selesai kami baru memulai perjalanan ke puncak gunung batu, sebelum naik aku sempat berhenti didepan spanduk alakadarnya bertuliskan peraturan naik gunung: tidak boleh membuka trek baru, tidak merusak ekosistem disana, tidak boleh mendaki dimalam jumat, dll. 

Seperti namanya, di gunung batu terdapat banyak bebatuan yang ukuranya amat besar sekali, tidak terlalu banyak pohon-pohon seperti umumnya hutan-hutan, yang ada hanya rumput-rumput yang tinggi tapi tingginya bisa sampai setengah tinggi badanku, aku juga tidak menemukan satwa liar yang ada hanya insecta kecil-kecil. Malam saat tiba di camping ground kami segera mendirikan tenda sedangkan yang lain sholat magrib, kegiatan malam kami diantaranya makan malam bersama, main game, ngobrol santai, lanjut dengan tidur. Ternyata tengah malem sebagian teman lanjut main game, didalam tenda ukuran 7orang hanya diisi dua orang termasuk aku, sedangkan di luar angin sangat kencang sekali, badan ini seperti  mau terbang terbawa angin kencang. Dari malam sampai dengan pukul 5 subuh tak henti-hentinya pengunjung yang naik sampai sampai antrian mengular, aku menapaki kaki dengan ekstra hati-hati, karna jalan cukup menanjak tajam yang ada hanya batu-batu yang bisa jatuh sewaktu-waktu, tak ada satupun pohon besar yang bisa menyanggah, meski tak sampai ke puncak tapi hati sudah girang.